ad1

Posting Ulang MALPU 222 - GELAR ADAT DAN PEMAKAIANNYA


Posting Ulang tanggal 5 November 2017:

MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – 222

Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muaro Langkap
Jambi, 23 Juni 2016

GELAR ADAT DAN PEMAKAIANNYA – (1)

A. Jenis penurunan Gelar Adat

Masing-masing wilayah kedepatian mempunyai wadah kerapatan adat yang disebut dengan Balai Alam Barajo. Di sinilah tempat kerapatan adat untuk berunding dang bermusyawarah dalam menjalankan kegiatan pemeritnahan adat. Salah satu kegiatan penting dalam pemerintahan adat adalah menjaga keutuhan dan kelengkapan pemerintahan adat seperti menentukan siapa saja anak negeri yang telah menyerahkan “persyaratan untuk diberikan gelar adat”.

Gelar adat umumnya adalah gelar depati, ninek mamak, dan gelar adat lain yang ada di lembaga adat tertentu, atau dititipkan oleh lembaga adat lainlain tertentu kepada lembaga adat tersebut. Se waktu pembentukan dan pengisian gelar adat bagi suatu wilayah adat mempunyai sifat dan ciri masing-masing, namun secara umum gelar adat yang diturunkan terdiri dari tiga macam, yaitu

1. Gelar adat yang disebut dengan istilah ‘Marsyal’ dan “kemerkan atau kembang rekan”. Marsyal artinya bahwa gelar adat yang sudah ada dalam suatu wilayah adat "tidak boleh dibawa keluar wilayah kedepatian" dimana gelar itu berada. Siapa saja yang menyandang gelar adat tersebut harus berada disana dengan istilah ‘orang yang akan menyandang gelar adat tersebut harus 'batapak-balaman' (punya tempat mata pencaharian dan halaman tempat berunding anak jantan dan batino berunding), kemudian diikuti 'barumah-batapian' (punya rumah di wilayah adat yang bersangkutan dan punya tapian tempat mandi).

Sedangkan Kemerkan artinya gelar-gelar adat yang tidak disyaratkan seperti gelar marsyal. Penyandang gelar adat ini tugasnya sebagai mitra kerja (membantu) dari penyandang gelar adat yang marsyal. Gelar ini boleh dibawa keluar wilayah adat yang bersangkutan, dibawa oleh anak jantan di luar wilayah adat di 'sepanjang rantau dan sepanjang teluk'. Penyandangnya tidak mutlah harus bertempat tinggal di wilayah adat yang bersangkutan.

2. Gelar adat yang diturunkan / dijemput ke wilayah adat tertentu kemudian dibawa ke wilayah adat yang lain, dan masing-masing balai adat menggunanan gelar tersebut bersamaan atau tidak bersamaan waktunya, namun kedua wilayah adat itu menggunakan nama gelar yang sama. Dalam adat disebutkan sebagai "bungo sekaki kembang duo". Artinya bahwa gelar adat itu masih adat di lingkungan lembaga adat masing-masing asal, namun gelar itu ada pula diturunkan atau dibawa ke wilayah adat tertentu.

3. Gelar adat yang diturunkan atau dijemput masa pembentukan pemisahan (pemekaran wilayah kedepatian) tertentu atau lahirnya bersamaan dengan pemisahan wilayah tertentu untuk digunakan juga wilayah kedepatian baru, baik secara internal wilayah kedepatian maupun karena pemberian celak/piagam kedepatian.

B. Pemberian gelar adat terdiri dari empat macam, yaitu:
(1). pemberan gelar adat karena 'Pertalian Darah', artinya calon pemegang gelar adat berasal dari anak keturunan, atau pewaris sah suatu gelar adat (yang mempunyai alur dengan patut).

(2). pemberian gelar adat karena 'Pertalian Budi', artinya gelar adat itu diberikan kepada orang yang berjasa dalam pembangunan masyarakat dan daerah, tetapi tidak berasal dari daerah yang berasangkutan.

Gelar adat yang dapat diberikan karena Pertalian Budi biasanya adalah gelar yang berasal dari adat lamo pusako usang, yaitu gelar-gelar yang ada pada Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum misalnya, yang dapat dibawa keluar wilayah adat tetapi tidak dapat diwariskan begitu saja. Artinya kalau ada anak kemenakan beliau yang ingin memakai gelar adat tersebut dia harus menyerahkan ’panyiren’ kepada lembaga adat di Lempur. Gelar-gelar adat yang dibawa keluar, akan kembali sendirinya ke Lembaga Adat asal dengan beberapa alasan: (1) pemakai gelar adat sudah mangkat – meninggal dunia, (2) pemakai sudah berniat untuk meletakkan gelar dengan alasan pribadi, (3) penyandang gelar adat telah salah langkah, ’jatuh di pamanjat, hanyut di paminten’, dan (4) penyandang gelar ingin meletakkan gelarnyo karena sudah uzur.

Gelar adat yang disandang karena Pertalian Budi hanya diberikan sekali kepada pemangku adat yang memenuhi persyaratan: (1) pemakai gelar adat sudah mangkat – meninggal dunia, (2) pemakai sudah berniat untuk meletakkan gelar dengan alasan pribadi, (3) penyandang gelar adat telah salah langkah, ’jatuh di pamanjat, hanyut di paminten’, dan (4) penyandang gelar ingin meletakkan gelarnyo karena sudah uzur. Gelar adat tersebut akan kembali disangkutkan di tiang balai (artinya kembali ke rumah gedang, yang nantinya dapat disandang kembali oleh orang lain).

(3), pemberian gelar karena 'Pertalian Akar', yaitu untuk kasus dan keadaan tertentu: maksudnya yang ”terbang menumpu, hinggap mencengkam”. Pewaris adat ini adalah dari baris yang sudah jauh atau dari belahan kaum yang bersangkutan dan menetap di kampung lain. Bila pemangku adat di daerah yang bersangkutan sudah benar-benar tidak atau sulit ditemui dikarenakan oleh sebab tertentu, maka gelar boleh diberikan kepada anak negeri pewaris adat yang tinggal di tempat lain, namun demikian harus juga melalui kesepakatan ninik mamak dan keluar dalam sepayung.

(4). pemberian gelar diberikan karena 'Pertalian Emas'. Maksudnya bahwa pewaris adat ini tak berhak menerima 'gelar pusaka' tetapi mungkin hanya dapat menerima warisan saja jika diwasiatkan kepadanya karena memandang jasanya.

C. Sifat Gelar Adat

Umumnya gelar adat mempunyai tiga sifat atau kharakteristik, tergantung gelar itu menganut sistem adatnya:

1. Berasal dari "Balai Panjang".
Balai Panjang ini adalah tempat kerapatan adat menurut sistem Kerapatan Adat Alam Pagaruyung, yaitu Adat Perpatih Nan Sebatang, “tegak sama tinggi dan duduk samo rendah”. Kerapatan adat di balai ini semua penyandang gelar adat mempunyai hak yang sama dalam kedudukan dan mempunyai kedudukan yang sama dalam menyampaikan pendapat. Depati, ninik mamak, pemuka agama, kaum cerdik pandai, pemuda dan wanita duduk berunding pada tempat yang sudah disediakan.

Tempat perundingan dalam wilayah adat tertentu disebut balai, sejatinya dulu terdiri dari balai yang sembilan buah. Tempat pertemuan yang ukuran lebarnya sembilan depo dan panjangnya duo kali sembilan depo sebagai tempat pengambilan keputusan, bentuknya seperti panggung yang datar dan tidak dibuat bertingkat-tingkat. Peserta musyawarah hanya ditempatkan sesuai susunan tempat dari bergelar tinggi sampai bergelar rendah atau sampai kepada yang tidak bergelar.

Biasanya kelompok penyandang gelar adat (depati, ninek mamak, rio, permenti, ngebi) depati ditempatkan khusus sesuai gelar yang disandangnya. Depati yang marsyal ditempatkan ditengah kemudian diapit oleh depati kemerkan (kembang rekan) – yang merupakan depati dan ninek mamak yang terbentuk memperkuat keberadaan depati Marsyal.

Apabila gelar sudah terbawa ke lembaga adat tertentu, maka gelar itu selamanya berada di wilayah adat yang bersangkutan. Artinya apa bila gelar adat itu sudah habis masa penggunaanya maka penyandang gelar berikutnya tidak perlu menjemputnya ke tempat asal gelar yang bersangkutan. Artinya, gelar adat itu secara turun-temurun atau dari generasi ke generasi cukup ditugaskan/dilantik di walayah adat tempat gelar itu digantungkan. Namun sewaktu pengukuhan gelarnya, orang dulu selalu mengundang pimpinan wilayah adat dari mana gelar sko itu diperoleh.

Contoh:
1) Gelar Depati Payung yang ada di wilayah adat Sungai Penuh/Pondok Tinggi diperoleh berdasarkan celak/piagam yang dikeluarkan oleh raja Muaro Masumai, bahwa gelar Depati Payung itu aslinya berasal dari wilayah adat Serampas.

2) Gelar adat Depati Anum itu aslinya berasal dari wilayah adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, namun karena hubungan perkawinan sehingga pihak laki-laki penyandang gelar Depati Anum yang di Lempur membawa gelar itu ke wilayah adat Tanjung Pauh, disamping itu sifatnya adalah ‘bunga sekaki kembang dua”. Artinya digunakan sekali gus baik di Lempur atau di Tanjung Pauh. Penugasan depatinya tidak perlu di lembaga adat Lempur, cukup di lembaga adat Tanjung Pauh saja, namun orang dulu selalu diiringi dengan kebiasaan lain yaitu sewaktu penugasan depati selalu mengundang pimpinan lembaga adat asalnya.

3) Gelar adat Depati Muaro Langkap yang wilayah asalnya adalah lembaga adat Tamiai, namun sekitar pertengahan abad ke 19 masehi, karena adanya pertalian darah gelar itu dijemput dari tempat asalnya kemudian disangkutkan di lembaga Adat Lekuk 50 Tumbil Lempur, sebagai gelar adat yang bersifat “sekaki kembang dua”. Pada waktu itu ditempatkan pula gelar sko Depati Anum di lembaga adat Tamiai sebagai imbang pertalian darah sama-sama keturunan dari Sigindo Bauk sebagai penyandang gelar pertama. Demikian sebagai imbang pakai sewaktu menjemput gelar Depati Muara Langkap ke Tamia, Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur juga menitipkan gelar Depati Anum di Lembaga Adat Muara Langkap di Tamiai.
Itulah sebabnya sampai sekarang gelar Depati Muara Langkap ada di Tamiai dan ada pula di lingkungan lembaga adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Demikian pula untuk gelar adat Depati Anum yang ada di Tanjung Pauh atau di Tamia.

4) Gelar adat Depati Parbo yang ada di Lolo, gelar tersebut berasal dari lembaga adat Renah Kemumu – Serampas, dijemput pertama kali oleh lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur dan digunakan sekali di lembaga adat tersebut, kemudian karena pertalian darah dengan lembaga adat Lolo, maka gelar tersebut dibawa ke lembaga adat Lolo dan sebagai penggantinya ditempatkan gelar adat Depati Mudo yang berasal dari Lolo ditempatkan di Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

Gelar adat Depati Parbo dan Depati Mudo sifatnya adalah pengganti atau saling isi lembaga adat, makanya hanya digunakan di satu tempat saja, tidak pula sebagai ‘bunga sekaki kembang dua’. Jadi gelar Depati Parbo tidak lagi digunakan di lembaga Adat Serampas, tidak juga di Lembaga Adat Lempur, demikian pula gelar Depati Mudo yang berasal dari Lolo hanya digunakan di Lempur saja, tidak ada di Lolo.

5) Dan banyak gelar adat lain, yang berasal dari “Balai Panjang” dan mempunyai sifat tertentu, gelar itu sudah permanen tersangkut pada lembaga adat tertentu.

6) Sebagian besar, gelar-gelar adat akibat dari pemekaran wilayah kedepatian berasal dari “balai panjang” sifatnya, dan kehadiran gelar adat itu permanen sifatnya tersangkut di lembaga adat wilayah kedepatian baru. Misalnya pemekaran wilayah kedepatian Atur Bumi menjadi Delapan Helai Kain, maka ke delapan depatinya sudah permanen sifatnya di lembaga adat baru. Demikian pula gelar-gelar adat pemisahan untuk wilayah Kumun, Sungai Penuh, Jujun, Lempur, Lolo, Semerap dan lainnya. Gelar depatinya cukup dilantik di wilayah adat masing-masing.

2. Berasal dari "Balai Pandak" (Pendek).
Gelar adat yang berasal dari Balai Pandak (Pendek) adalah gelar adat yang menganut Adat Alam Pagarruyung, yaitu Adat Ketemanggungan (adat alam beraja), bahwa gelar adat “tidak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah”. Ini adalah sistem “adat beraja” ini menempatkan seseorang pemimpin adat mulai yang tertinggi sampai ke yang terendah.

Balai Pandak ini dulunya bercirikan terdapatnya Lima Buah, yang terdiri dari ukuran lebar dan panjang sama sembilan depo. Di buat bertingkat, tempat yang paling tinggi adalah tempat kedudukan pembesar adat (pembesar kerajaan) berunding. Raja berunding sama raja, keluarga kerajaan berunding sesama keluarga kerajaan ditempat yang lebih ditinggikan, seterusnya kepala adat duduk sesama kepala adat, begitulah kegunaan tempat yang telah disiapkan tersebut.

Setiap gelar yang diturunkan dari “Balai Pandak” ini, masa pemakiaiannya hanya sekali, artinya sesudah masa pemakiannya akan ‘Tersangkut’ kembali dengan sendirinya di Tiang Balai Pandak. Artinya gelar tersebut tidak permanen melekat di suatu lembaga adat tertentu, Apa bila masa pemakiannya di suatu lembaga adat berakhir, maka gelar itu akan tersangkut kembali di lembaga adat asal dengan sendirinya. Namun kalau masih ada anak negeri lembaga adat tertentu menginginkan kembali untuk disandang oleh anak jantan di wilayah adat yang bersangkutan, maka harus dijemput kembali sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku di Balai Pandak.

Contoh:
1) Gelar adat Depati Gento Nyalo yang berasal dari lembaga adat Serampas, pernah dibawa ke Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, namun sesudah habis masa pemakaiannya, maka gelar itu kembali tersangkut di tiang balai lembaga adat Serampas.

2) Gelar adat yang sifat tertentu, misalnya di wilayah Atur Bumi, Depati Atur Bumi hanya muncul sewaktu tugas keluar dari wilayah adatnya, namun bila tugas selesai maka bila kembali ke wilayah adat Hiyang dan tugas internalnya akan dilaksanakan oleh Depati Batu Hampar. Demikian pula untuk gelar Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar. Gelar ini hanya muncul bila ada penugasan keluar dari wilayah adatnya yaitu ‘depati nan berenam’ di Pulau Sangkar, siapa pun yang ditunjuk dari 6 (enam depati yang ada) maka beliau akan menggunakan gelar Depati Rencong Telang bukan gelar sandang sehari-harinya yang tetap tinggal di lembaga adat Pulau Sangkar.

Gelar Depati Rencong Telang ini pernah dibawa ke Lempur dan digunakan satu kali pemakian. Pemberian gelar Depati Rencong Telang ke anak jantan dari Lempur yant bernama Ir. H. Rivai Saat, MSc sewaktu beliau masih menjabat sebagai Dirjen Perkebunan di Kementerian Pertanian RI. Gelar itu diberi oleh Lembaga Adat Pulau Sangkar dengan mengambil peran utama ‘diluar’ wilayah kedepatian Rencong Telang, dengan tugas khusus yang dititipkan untuk mengurus pembangunan Irigasi Air Lintah, dan tugas itu berhasil beliau laksanakan.

Gelar Depati Rencong Telang itu disandangnya sampai dengan meninggal sewaktu menjadi Atase Pertanian di Kedutaan RI Bangkok (Thailand) tahun 1990-an. Kemudian sehabis pemakaian karena meniggal, gelar itu kembali dengan sendirinya ske Lembaga Adat Pulau Sangkar dan sampai sekarang tidak pernah lagi diberikan kepada lembaga adat lain.

3) Gelar adar Depati Kerinci, asal dan milik dari lembaga Adat Pulau Sangkar. Gelar adat ini hanya digunakan di Pulau Sangkar dan di Lempur. Setiap kali lembaga adat Lempur ingin menggunakan di lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, maka harus ‘menjemputnya’ kembali ke Pulau Sangkar, itupun kalau belum disandang oleh seseorang di Pulau Sangkar. Kalau ternyata masih ada yang menyandangnya di Pulau Sangkar maka gelar itu tidak boleh digunakan di Lempur, karena sifatnya bukan sebagai “bunga sekaki kembang dua”.

3. Berasal dari "Balai Perangin".
Sifat dari balai adat ini adalah campuran antara sifat Balai Panjang dan Balai Pandak. Gelar-gelar adat yang dijembut kepada lembaga adat jeniis ini berdasarkan kesepakatan antara dua lembaga adat, apakah gelar yang diturunkan itu permanen tersangkut di lembaga lain dalam bentuk bunga sekaki kembang dua dan hanya digunakan pada satu salah satu lembaga adat saja, atau gelar itu hanya dapat digunakan untuk satu kali pemakaian sesudah itu gelar tersebut dengan sendirinya kembali ke lembaga adat asal. Sifat lain dari balai adat ini adalah perjanjian kedua pihak.

Walaupun demikian, pihak lembaga adat asal lah yang lebih dominan menentukan pilihan apakah bentuk penjemputan: sekali pakai, bunga sekaki kembang dua, dipakai hanya satu lembaga saja, atau pemakaian dengan diiringi syarat-syarat tertentu berdasarkan kesepakatan.

CATATAN: sifat dan perlakuan untuk gelar-gelar adat masing-masing wilayah adat tentu ada persamaan dan perbedaan. Sehingga ketentuan yang diuraikan ini tidak berlaku seragam di Alam Kerinci (Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah), tergantung perjalanan panjang lembaga adat yang bersangkutan yang menyababkan terjadinya perbedaan.

Gelar adat tersebut akan kembali disangkutkan di tiang balai (artinya kembali ke rumah gedang, yang nantinya dapat disandang kembali oleh orang lain).... * (bersambung).
---------------------------------------------------------------------------------------------
PERMINTAAN SDR. PEPIZON MUZAMMIL AGAR MALPU SERI 295 DIMASUKKAN KE DALAM MALPU SERI 222.
---------------------------------------------------------------------------------------------
MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG - Seri 295

Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muaro Langkap
Tanggal 6 November 2017

YANG RINGAN DAN SERIUS

Diskusi Online, antara Aulia Tasman dan Pepizon Muzammil malam tadi: TENTANG KENDURI SKO - PULAU SANGKAR

Pepizon Muzammil: Namun yang perlu dipahami lagi bahwa Raja Daulat Pagaruyung MENGUKUHKAN bahwa Depati Rencong Telang masuk kedalam federasi ke-63 kerajaan Pagaruyung se-Indonesia bukan MELANTIK Prof. Pelantikan tetap sesuai dengan adat lamo pusako usang tdk berubah sedikitpun. Hal ini byk kawan2 dari lempur dll yg protes dlm inbox saya. Sebenarnya mereka tidak menghadiri, mereka hanya mendengar dari mulut ke mulut sehingga macam2lah tanggapan mereka. Dan sayapun juga tdk habis pikir bgtu byk org yang "geger" dgn Kenduri Sko tgl 3 sept '17 lalu... Ada apa..?? Wallahu'alam Bishawab...
Suka
· Balas ·
1
· 8 jam
Kelola
Aulia Tasman
Aulia Tasman: dalam - berita koran dan media sosial seluruhnya menulis "melantik", tidak seorangpun orang Pulau Sangkar meluruskan berita tersebut. Tidak seorangpun yang menjelaskan kepada khalayak kenapa raya Pagaruyung yang diundang datang? karena tidak ada penjelasan itulah yang menjadi tanda tanya se antero Kerinci, tidak ada yang menjelaskan.
Suka
· Balas · 8 jam
Kelola
Pepizon Muzammil
Pepizon Muzammil: Oh begitu, sebenarnya Tulisan sdr Gettar Cris Prahara dlm grup KERAJAAN KOYING, KEPEMIMPINAN SIGINDO, PAMUNCAK dan DEPATI ALAM yg beranggotakan 5.927 org sdh menguraikan undangan dan seluruh isi acara kenduri Sko trsebut. Di Lempur, Lolo, Semerap, dan depati 4 alam kerinci sdh diundang. Mereka hadir, akan tetapi sepertinya tdk bs memahami mana acara pelantikan dan mana acara pengukuhan. Khusunya di Lempur isu yg beredar ttl pelantikan bkn pengukuhan...
Suka
· Balas · 8 jam
Kelola
Pepizon Muzammil
Pepizon Muzammil: Para awak media yg hadir bisa jadi tidak memahami juga hal itu. Utk lebih jelasnya nanti prof bisa menonton kasetnya, durasi kurang lebih 3 jam. Sehingga jelas dlm acara itu siapa yg melantik dan siapa yang mengukuhkan...
Suka
· Balas · 7 jam

Kelola
Aulia Tasman
Aulia Tasman: Istilah 'melantik' atau 'mengukuh'kan itu tidak menjadi hal yang prinsip karena tujuannya sama, namun menurut adat lamo Pamuncak nan Tigo Kaum yang kita anut bahwa pengukuhan atau pelantikan secara adat depati baru disebut dengan 'tugeh depati'. Orang dulu mano mengerti dengan istilah pengukuhan atau pelantikan. Banyak kelemahan yang terjadi dalam acara di Pulau Sangkar namun bisa dimengerti karena sudah lama sekali tidak melakukan kenduri sko.

Kelemahan diantara lain;

1.' Bungo sakaki kembang duo' tdk pernah ada dalam satu wilayah kedepatian, untuk seluruh wilayah kedepatian, bisa dicek terutama di wilayah Pamuncak nan Tigo Kaum. Biasanya dilakukan di dua wilayah lembaga adat yang berbeda atau ada pemekaran wilayah depati baru.

2. Kebiasaan yang ta ico ta pakai di wilayah Pamuncak nan Tigo Kaum bahwa sebelum seorang ditetapkan menyandang gelar depati harus terlebih dahulu anak batino dari suatu kalbu "ngulo panyiren" kepada lembaga adat , barulah nanti lembaga adat bersidang menerima atau menolaknya, sementara itu tidak dilaksanakan, siapa yang bersidang-siapa yang memutuskan menetapkan seorang menjadi depati apakah melalui sidang depati masih yang ada atau melalui mekanisme lain?.

3. Berhentinya seorang depati atau ninek mamak menurut adat lamo ada tiga sebab:
a. jatuh di pemanjat - hanyut di perenang (depati berbuat salah yang tidak bisa dimaafkan),
b. mengundurkan diri - gdang dak ta hilo - berat dak ta angkat (ini alasan pribadi), dan
c. meninggal dunia, dan lain-lain kelemahan.

Karena kejanggalan itulah makanya 'banyak yang tagembo - banyak yang takanjat", timbul pertanyaan 'mengapa begitu- mengapa begini, mengapa tidak dilakukan seperti ini-seperti itu, kok bisa depati 'dipecat' secara bersama dan lain-lain pertanyaan. Apa bisa untuk alasan penyegaran sebagai alasan pemberhentian depati.

Pemberhentian depati bukan seperti mencabut anak pisang, mano yang suko atau dak suko itu yang dicabut, ndak dicabut semua jugo bisa. Kato istilah adat "tanduk kebau atau kembing hidup yang dicabut", pasti sakit - dia diangkat di atas kepala kerbau atau kepala kambing - dan masih menyandang gela depati atau ninek mamak dan jarang dilakukan urang. Biasanyo 'mano nan salah itu yang diganti atau di'datuk'kan, bukan 'mencit yang salah - bilik padi dibaka').

Kalaupun ada pecatan depati atau ninek mamak harus 'anak betinonyo' yang ngulo 'panyiren' balik bahwa anak jantan kalbu itu minta ditarik gelar depatinya oleh lembaga adat secara resmi karena sudah tidak dikehendaki atau tidak layak lagi untuk menyandangnya, dari pado dio 'ditamakan biso kawi, dikutuk karang setio atau dikutuk Qur'an 30 jus, pengunduran diri adalah langkah yang terbaik demi kebaikan si penyandang gelar. Setelah itu lembaga adat bersidang menerima atau menolak pencabutan gelarnya. Itulah cara yang biaso dilakukan di wilayah Pamuncak Nan Tiga Kaum. Jadi itulah beberapa pertanyaan yang menyebabkan heboh dibicarakan diberbagai tempat.

Bagi yang tidak tau ya menganggap ya begitulah, bagi yang tau menimbulkan 'fitnah dalam masyarakat', menimbulkan pergunjingan disana sini. Sebagai perbandingannyan bahwa Lembaga Adat yang melakukan kenduri sko tiap tahun saja sering ada yang terlupa, banyak jugo salahnyo apalagi sudah lama sekali ditinggalkan, dan generasi yang ado kini tidak pernah merasakan dan tidak pernah melihat wilayahnya melakukan kenduri sko, tentu banyak yang tidak tahu, makanya terjadi kejanggalan, bukan pula apa yang kita laksanakan itu yang benar. Kalau demikian adanya maka berlaku kata adat "mangrek - mangunkai" yang tlah ado. Tetapi kalau memang itu yang dianggap baik untuk waktu sekarang ya itu adalah kesepakatan lembaga adat itu sendiri, bak kato istilah adat "alah kato dek janji - alah janji dek samo mbuh', buat kententuan baru untuk lembaga adatnya sendiri.

Setuatu yang mungkin terjadi kalau memang sepakat. Jadi oleh sebab itu bukan karena iri-dengki, bukan karena tidak suka, dan bukan pula karena terkejut Pulau Sangkar mengadakan kenduri sko, namun karena banyak kejanggalan itulah yang menjadi bahan gunjingan sesaat. Untuk itu tidak ada manusia yang tidak berbuat salah, tetapi orang yang mau mengakui kesalahan itulah yang terbaik untuk dilaksanakan, sehingga ada ruang celah untuk memperbaiki kesalahan. Itu rasanya yang terbaik agar kesalahan tidak terulang dan untuk ke depan akan sesuai lagi dengan adat lamo pusako usang. maaf bukan bermaksud menggurui - tapi kewajibang bagi yang tahu menyampaikan dan mengingatkan belum tau, tks
Suka
· Balas · 19 menit · Telah disunting
Kelola
Aulia Tasman
Tulis balasan...

Aulia Tasman
Aulia Tasman: Perlu diigat bahwa saya dengar dari kawan-kawan Pulau Sangkar di Jambi bahwa Rencong Telang dimasukkan ke dalam "Federasi Raja dan Sultan Nusantara" dengan anggota yang ke 63, bukan "federasi ke 63 raja-raja Pagaruyung", mana yang benar? se tahu saya tidak ada Federasi Raja-Raja Pagaruyung, kalau pun dirunut semenjak "kerajaan Pagaruyung" muncul pada abad ke 15 atau 16 masehi, sampai sekarang tidak lebih dari 26 generasi sedangkan silsilah Pulau Sangkar baru bisa dirunut sekiar 14 generasi dari sekarang (banyak yang tertinggal, saya punya silsilah yang lebih lengkap untuk 25 s.d 27 generasi dari sekarang).

Kerajaan Pagaruyung itu adalah pecahan dari Kerajaan Melayupura yang berakhir setelah dipimpin oleh Ananggawarman (anak Adityawarman) berakhir pada abad ke 15 masehi, tetapnya tahun terakhir Anaggawarman meninggal pada tahun 1417 masehi. Setelah itu Melayupura pecah menjadi tiga.
1. Kerajaan Minangkabau menjadi Kerajaan Pagaruyung,
2. Kerajaan Melayu menjadi Kerajaan Melayu Dharmasraya II (Kerajaan Melayu Jambi) dan
3. Wilayah Sigindo dan Depati kembali menjadi Alam Kerinci (Kerici Tinggi dan Kerinci Rendah).

Jadi semenjak itu Kerajaan Pagaruyung tidak punya pecahan untuk dijadikan federasi. Tolong dicek kebenarannya. tks
Suka
· Balas · 1 jam · Telah disunting
Suka
Tunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Bagikan
13 Teti Nirwana, Siti Aisyah, dan 11 lainnya
Komentar
Arnoldy Arby
Arnoldy Arby 👍👍👍👍👍👍👍
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas · 2 jam
Kelola
Pepizon Muzammil
Pepizon Muzammil Jika Prof berkenan, tolong di share juga diskusi online tadi malam dalam MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG-222 mengenai asal "Depati nan berenam dan adanya Depati Telago di Lekuk 50 Tumbi" Trims...
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas · 37 menit

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...

ad2