ad1
MALPU 308 - PUCUK UNDANG ADAT LEKUK 50 TUMBI LEMPUR
Nadia
Desember 20, 2017
MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri 308
Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muaro Langkap
Jambi, 20 Desember 2016
PUCUK UNDANG ADAT LEKUK 50 TUMBI LEMPUR
Bahwa untuk melaksanakan hukum Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah, dibuatlah Pucuk Undang yang berisi lima kalimat sakral berperan sebagai “Dasar hukum bertindak secara Islam di Wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur”, artinya hukum berlaku bersifat mutlak Islam, tetapi Hukum Adat dikawal hukum Islam, berperan sebagai alat pemersatu.
Pucuk Undang Hukum Adat yang berlaku khusunya di Alam Kerinci yang sejak selesai Rapat Besar Adat Bukit Sitinjau Laut tahun 1022 Hijiriah atau 1612 Masehi, disebut dengan “Induk Undang Tambang Taliti” atau hukum dasar yang jadi dasar negara Kerajaan Tanah Pilih Jambi. Ada lima kalimat sakral dan sakti, berisi keyakinan yang sangat medalam, falsafah hidup dan janji setio orang Jambi, selama masih mengaku beragama Islam dan aka kafir bila tidak setuju.
PUCUK UNDANG ADAT Melayu Jambi terdiri dari lima sendi dasar:
1. Titian Teras Tangga Batu
2. Lantak Nan Dak Goyah
3. Cermin Gedang Dak Kabur
4. Mangkok Karang Setio
5. Dak Lapuk Dek Hujan Dak Lekang Dek Paneh
Maksud dari masing-masing-masing pucuk undang adat adalah sebagai berikut:
A. TITIAN TERAS BETANGGO BATU
Bahwa yang dimaksud dengan Titian Teras, adalah ayat Allah yang tertulis dalam Al Qur’an dan disebut wahyu, sedangkan Tangga Baru adalah Ayat Allah yang berupa ciptaanNya yaitu alam semesta ini. Karena Ayat Allah itu dua macam:
Pertama ayat Allah yang tertulis dalam Al Qur’an yang disebut wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul untuk disampaikan kepda umatnya.
Kedua ayat Allah berupa alam hasil ciptaan-Nya. Keduanya wajib seimbang dilaksanakan, bila ayat Allah berupa wahyu tidak dilaksanakan maka ayat Allah berupa alam murka, akibatnya manusia akan menuai badai bencana alam.
Jadi Titian Teras Bertangga Batu adalah Sunnah Allah, dia adalah hukum yang tertinggi datang dari Allah, hukum dalam konteks ini adalah aturan teoritik, jalan mendapat keadilan dan kebahagiaan, dengan menemputh titian dan tanggo untuk mencapai adil dan bahagia Hidup Jayo Mati Sempurno.
Maka titian hukum harus kokoh dan kuat berupa teras dan tanggo hukum harus kukoh buat berupa batu itulah ayat Allah Swt, isinya tidak mungkin bisa dirobah dan tidak ada campur tangan manusai, ia harus lebih tinggi berada dipucuk menjadi hukum dasar dan pedoman, hukum yang datang dari Allah, pucuk dari segala aturan hukum tidak ada lagi aturan hukum yang lebih tinggi dari itu, karena aturan hukum dipucuk bukan buatan manusia tetapi Sunnah Allah. Bila tidak dilaksankan kafirlah hukumnya dan azab adalah balasannya.
Sedangkan Titian Teras Batangga Batu dalam Wilayah Pamuncak Nan Tiga Kaum, khususnya di wilayah Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, di samping sebagai sendi dasar dalam kehidupan menurut ajaran Agama Islam, juga digunakan untuk meneliti WARIS GELAR yang diturunkan dari nenek moyang dari satu generasi ke generasi lainnya. Sehingga seseorang yang berkeinginan untuk menyandang satu gelar Depati, maka bisa ditelusuri ke atas sampai dengan “Penyandang Awal Gelar Adat”. supaya kuat dasar hukumnya.
Misalnya, dalam adat disebutkan bahwa untuk menurunkan gelar adat khususnya depati di wilayah Lekuk 50 Tumbi, maka dapat ditelusuri dari tiga sumber:
A. Ditelusuri dari: Anak Anum Nan SALAPAN, yaitu 1. Si Bembam, 2. Besi, 3. Meh Jenti, 4. Thalib Ali, 5, Gerak Ali, 6. Gerak Alam, 7. Benda Rami, dan 8. Sakiah) – SEMBILAN dengan anak Meh Teluk1, yaitu (1. Mengso Kerti (Panglimo Jinak) dan Panglimo Langkurek (Orang Tuo Gulung).
B. Khusus untuk wilayah Lempur Bagian Hilir dapat pula ditelusuri dari NASAB NAN SALAPAN yaitu: 1. Ihi, 2. Rihi, 3. Nihi,4. Sarampak, 5. Siak Engkal, 6. Rajo Bujang, 7. Rajo Depati, dan 8. Kalari.
C. Dapat pula ditelusuri dari Depati-depati mulai jadi dari nasab keluarga 50 tumbi diluar yang disebutkan di no 1 dan 2.
B. LANTAK NAN DAK GOYAH.
Lengkapnya dalam adat disebut dengan LANTAK NAN DAK GOYAH KAPING DAK TAGENOU, adalah Sunnah Rasul berupa hadis Nabi, hukum yang datang dari Nabi adalah untuk melaksanakan ayat-ayat Allah, dan sunnah Rasul yang termuat dalam Hadis Nabi Muhammad Saw, tidak boleh diubah dan tidak mungkin dirobah-robah atau digeser-geser lagi.
Hadis-hadis Nabi itu diibaratkan dengan sebuat lantak, yang pangkal lantak diberi kaping atau ikat atau empelang kuat, supaya tidak pecah saat dipukul, ia boleh dipukul atau diterjang dengan apa saja tidak akan pecah dan tidak akan goyah. Maka lantak dipukul agar tacacak dalam-dalam sehingga tidak goyah. Begitulah hukum adat yang yang bebar, kata benar tidak boleh diubah-ubah, tanpa pandang bulu tanpa tebang pili, yang salah harus salah, yang benar harus benar, tidak pandang siapa dia.
Dalam adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ini, Lantak nan Tak Goyah disematkan kepada pucuk pimpinan adat Depati Agung.
C. CERMIN GEDANG NAN DAK KABUR
Adapun Cermin Gedang Nan Dak Kabur adalah kitab suci Al Qur’an, kitab yang tidak pernah diubah baik kalimat, bari huruf maupun titik sejak diwahyukan hingga sekarang dan tidak ada yang mampu merobahnya, karena dijamin oleh Allah Swt, “Sesungguhnya kami lah yang menurunkan Al Qur’an dan kami benar-benar memeliharanya” (Al Qur’an 15:9).
Kitab itu dijadikan Cermin Nan Idak Kabur dalam hukum adat, artinya tidak bisa berobah oleh siapapun, wajib dilaksanakan kapan dan dimana saja, tanpa terikat dengan tempat dan waktu. Begitulah hukum Islam, dan begitu juga hukum yang dibuat, jangan berobah dek saudagar lalu, jangan diasak dek dagang lewat, dirobah dek ada kepentingan, hukum harus tegak kokoh sepanjang waktu. Jalan barambah yang harus diturut, baju bajahit wajib dipakai, sudah bersesap berjerami, batunggul bapamaerh, bapendam pekuburuan. Dahulu orang membunuh dijatuhi bangun, terjadi esko maka hukumnya begitu juga, itulah cermin yang tak kabur.
Dalam adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ini, Cermin nan Idak Kabur disematkan kepada pucuk pimpinan adat Depati Suko Berajo.
D. MANGKOK KARANG SETIO
Bahwa Mangkok Karang Setio, adalah Ulil Amri Minkum, yaitu putusan pemimpin yang adil dibuat dengan ketentuan berdasarkan adat dan syarak, mupakat yang wajib diikuti, karena taat kepada Allah dan taat kepada Rasul dan Ulil Amri (pemimpin) yang adil adalah wajib.
Karang Setio dinayakan dalam bentuk kepatuhan kepada keputusan bersama, kepatuhan dalam menunaikan kehidupan sesuai dengan adat dan hukum syarak dalam mensejahterakan anak jantan – anak batino, anak gedan – anak kecik dalam negeri. Tanah nan bergabung, sungai nan berlaras, hak milik basamo. Tidak dibenarkan beraja di hati bersutan di mata. Saling menyalahkan harus dihindari, yang kusut bersama diselesaikan, yang keruh bersama di jernih, yang benar bersama dipakai, yang salah bersama dibuang. Adat Bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah. Dia ibarat mangkuk (wadah) tempat negeri bermufakat, tempat anak negeri batuik dan batanyo dalam menghadapi kehidupan, dia tetap teguh pendirian dalam memegang kesepakatan, tidak melakukan kesalahan secara adat terutama lagi dia tidak boleh melanggar hukum-hukum syarak.
Barang siapa melanggar ketentuan adat, ketentuan syarak dan ketentuan kitabullah maka dia akan dikutuk Allah dikutuk Quran 30 juz. Dikutuk Karang Setio, dimakan Biso Kawi, Anak dikandung menjadi Batu, Padi diTanam Lalang yang Tumbuh.
Dimakan biso kawi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan munculnya bencana ang luar biasa silih berganti, baumu idak baulih padi, mencari idak mendapat emas padi ditanami lalang tumbuh kunyit ditanami putih isi, mala petaka datang silih berganti, ke laut cemetik lepas, ke darat durian busuk, jadi bencah payo agung.
Dalam adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ini, Mangkok Karang Setio disematkan kepada pucuk pimpinan adat Depati Anum.
E. DAK LAPUK DEK HUJANG DAK LEKANG DEK PANEH
Bahwa kata-kata tidak lapuk karena hujan tidak lekang karena panas, mengandung uda arti:
Pertama, menujuk kepada yang empat di atas, yaitu titian teras batanggo batu, cermin gedang nan tak kabur, lantak dalam nan tak goyah kaping itda tagensou, dan kata mufakat, keempat itu tidak mungkin lekang atau lapuk (buruk) dalam hujan atau panas, dia bagaikan batang pohon yang selalu hidup.
Kedua, adalah kebulatan tekat dan janji sumpah setio anak negeri terutama pimpinan adatnya, untuk melaksanakan hukum secara konsisten, dan konsekwen bertanggung jawab kepada Allah, untuk melaskanakan hukum tanpa ragu-ragu dan semuanya sudah dicucui sehabis ari, dikikis sehabis besi, diasak layu dianggo mati, tekat dan pengakuan yang tak lekang dan tak lapuk, itulah pengakuan batin penegak hukum adat. …*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Leave A Comment...