ad1
MALPU 296 - MENGAPA RAJA MINANGKABAU ”YANG MELANTIK” DEPATI RENCONG TELANG -
Nadia
Desember 17, 2017
MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri ke 296
Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muara Langkap
Jambi, 11 November 2017
MENGAPA RAJA MINANGKABAU ”YANG MELANTIK” DEPATI RENCONG TELANG - 4)
PERTANYAAN MASYARAKAT SEKITAR “KENDURI SKO PULAU SANGKAR” YANG TERSISA:
Pertama : Kenapa masyarakat Pulau Sangkar tiba-tiba mengadakan Kenduri Sko padahal sudah 84 tahun mereka tidak melakukan kenduri sko? (MALPU 292)
Kedua : Bagaimana Hubungan Antara Minangkabau Dengan Pulau Sangkar? (MALPU 293)
Ketiga : Mengapa Tidak Ada Pelantikan Depati Rencong Telang? (MALPU 294)
Kenduri Seko (Kenduri Adat) Pulau Sangkar telah berlalu, tinggal menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu untuk dijawab.
Pertanyaan yang perlu dikaji berikut ini adalah: Katanya Kenduri Seko Pulau Sangkar bulan September 2017 lalu adalah ajang penyegaran terhadap depati-depati yang ada dan pengukuhan kembali Lembaga Adat Depati Rencong Telang. Mengapa Depati Rencong Telang tidak tercantumg dalam pelantikan?
JAWABANNYA;
Wilayah Kerinci Tinggi (Jerangkang Tinggi) dan Kerinci Rendah (sebagian Kabupaten Merangin dan Sarolangun Sekarang) mengalami perubahan zaman: Zaman Sigindo (Sigindo Batinting, Sigindo Balak dan Sigindo Ilok Misai) adalah sigindo-sigindo terakhir di Kerinci Tinggi (Sarampeh Masak), dan Sigindo Sigindo Kuning, berlokasi di daerah Pratin Tuo (dusun Tuo). Negeri yang berada di bawah Sigindo ini berasal dari dusun purba Lapai Tuo. Daerah ini disebelah Timur Serampas sampai ke abad 15 masehi. Kemudian berikutnya tiga wilayah sigindo Sarampeh masak beralih menjadi Zaman Pamuncak (Pamuncak Tuo – Jerangkang Tinggi Pulau Sangkar, Pamuncak Tengah – Serampa Tanjung Kasri dan Pamuncak Bungsu – Koto Tapus Sungai Tenang) disebut dengan persatuan Pamuncak Nan Tiga Kaum. . Zaman Pamuncak ini tidak begitu lama (lebih kurang 40 tahun).
Menurut Dja’far (2003), untuk daerah Kerinci Rendah tanah Sigindo yang sering dituturkan adalam perbincangan tetua masyarakat adalah:
1. Sigindo Segilintang, berada di sekitar daerah Pamenang sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Sungai Lintang.
2. Sigindo Timben, berada pada daerah sekitar dusun Sungai Manau sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini berasal dari dusun purba Timben.
3. Sigindo Pengantung, wilayahnya berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu sekarang. Sigindo ini memerintah negeri yang berasal dari dusun purba Pengantung.
4. Sigindo Malgan, wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Pangkalan Jambu. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasa dari dusun purba Malgan.
5. Sigindo Simukun, wilayahnya berada disekitar Nalo dan Tantan sekarang. Negeri yang berada dalam lingkup wilayah ini beradal dari dusun purba Muaro Simukun.
6. Sigindo Demahu, wilayahnya juga berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan sekarang. Sekarang negeri yang berada dalam lingkup tana seginda ini berasal dari dusun purba Demahu.
7. Sigindo Buluh, wilayah berada pada daerah sekitar Nalo dan Tantan. Negeri yang berada dalam lingkup tanah Sigindo ini berasal dari dusun purba Lubuk Buluh.
Perubahan berikutnya adalah dari Zaman Pamuncak ke Zaman Depati; Wilayah Pamuncak Nan Tigo Kaum berubah nama menjadi Wilayah Depati Rencong Telang untuk Wilayah Pamuncak Tuo, Wilayah Depati Sribumi Putih untuk wilayah Pamuncak Tengah, dan Wilayah Depati Purwo Menggalo untuk wilayah Pamuncak Bungsu. Sedangkan wilayah Kerinci Rendah terbagi dalam 5 wilayah yaitu; 1. Wilayah Depati Setio Nyato (Perentak Pangkalan Jambu); 2. Depati Setio Beti untuk wilayah Nalo; dan Depati Setio Rajo untuk wilayah Tanah Renah – Bangko; 4. Wilyah Pamuncak Pulau Rengas dan 5. Wilayah Pamuncak Peenang Pemberap.
Bagaimana dengan daerah lain di Alam Kerinci? Tidak ada pola perubahan yang jelas, karena pada Zaman Depatipun masih ada daerah-daerah yang menggunakan istilah sigindo untuk wilayahnya. Misalnya keturunan dari Depati Batu Hampar di Hiyang kawin dengan anak Siyak Lengih yang menetap di daerah Rawang disebut dengan Sigindo Panjang, dan lain-lain.
Kembali kepada sejarah Depati Rencong Telang:
Dari empat orang anak Dang Tuanku dengan Putri Reno Kemuning Mego atau cucu dari Hiyang Indra Jati yang sudah duluan ke Kerinci, (1. Puti Reno Pati Dewi; 2. Dewang Sari Dewano; 3. Puti Reno Sari – Lindung Bulan; dan 4. Dewang Peniting Putrawono), bahwa Dewang Peniting Putrawano berangkat menemui kakeknya Indra Jadi di Kerinci, dan beliau lebih terkenal pada zamannya sebagai Raja Keminting, di Pulau Sangkar, Kerinci (tambahan: …..menurut cerita yang turun temurun di Pulau Sangkar Raja Keminting dipanggil dengan nama Sigindo Sigerinting atau Sigindo Batinting, yang mempunyai istri bernama Puti Unduk Pinang Masak ….. red). Hasil perkawinan mereka ini melahirkan seorang putra bernama Rajo Ceranting, menjadi raja pula di Serampas dan Sungai Tenang (tambahan: ….. menurut cerita orang Pulau Sangkar Rajo Ceranting ini oleh orang Pulau Sangkar dipanggil Bujang Palembang …. Red). William Marsden telah menulis hasil penyelidikan dan peninjauannya itu ke dalam bukunya The History of Sumatera.
Kenapa sampai di Kerinci mereka dipanggil Raja?
Wilayah inti dari Kerajaan Minangkabau terdiri dari tiga Luhak (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Koto) yang di pimpin oleh Pengulu, sedangkan daerah-daerah Rantau di luar dati Tiga Luhak di atas pimpinannya di sebut ‘rajo’, maka timbulah istilah adat Luhak ba Panghulu pimpinannya dipanggil Datuk, Rantau yang Barajo. Khusus untuk wilayah Alam Kerinci sampai sekarang tidak pernah mengalami zaman kerajaan, atau sistem pemerintahan di alam Kerinci tidak pernah ada kerajaan yang sejatinya.
Menurut cerita yang turun menurun di Pulau Sangkar bahwa anak dari Raja Keranting dipanggil nama dengan Bujang Palembang. Sewaktu menginjak dewasa, Raja Keranting ini dikirim oleh bapaknya Sigindo Batinting untuk memperdalam ilmu Agama Islam di daerah Magek (Minangkabau), kemudian setelah ilmu keagamaan sudah mencukupi untuk sebagai seorang muballig, maka beliau diberi nama di Istana Lindung Bulan dengan nama Tuanku Magek Bagonjong.
Maka Raja Keranting di Kerinci mempunyai banyak gelar:
1. Raja Kerantingm adalah nama asli karena beliau secara geneologis adalah keturunan Raja Pagaruyung
2. Bujang Palembang, adalah nama panggilan setelah mamak-mamaknya menjemput beliau ke Palembang karena dibesarkan di keraton Kerajaan Palembang setelahnya tidak sempat dibawa pergi oleh ibunya Puti Unduk Pinang Masak setelah ditawan oleh pasukan Kerajaan Palembang.
3. Orang Tuo Mahligai, adalah nama panggilan karena tempat kediamannya di pinggir Sungai Batang Merangin (sekitar Muak sekarang) untuk memudahkan masyarakat yang ingin minta obat kepada beliau disebut dengan mahligai Tuanku Magek Bagonjong
4. Depati Rencong Telang, adalah nama panggilan kebesaran dari wilayah yang berada dibawah kekuasaan beliau.
Sewaktu Zaman Sigindo berubah ke Zaman Depati, maka Wilayah Sigindo Batinting berubah nama menjadi Wilayah Depati Rencong Telang dan orang yang pertama menyandang Depati Rencong Telang tersebut adalah Raja Keranting.
Dari penggalan sejarah tersebut, maka dari sini lah ditarik bahwa sewaktu Kenduri Sko Pulau Sangkar, Raja Alam Pagaruyung diundang datang untuk mengukuhkan kembali Lembaga Adat Rencong Telang.
Di lingkungan Istana Pagaruyung (Si Lindung Bulan), setiap ada acara kebesaran maka di atas pentas selalu disediakan 4 (empat kursi) sebagai perlambang dari 4 orang anak Dang Tuanku Syah Alam, Raja Kerajaan Pagaruyung (1. Puti Reno Pati Dewi; 2. Dewang Sari Dewano (berkembang di Rejang – Bengkulu); 3. Puti Reno Sari – Lindung Bulan; dan 4. Dewang Peniting Putrawono), namun sejak dulu kursi no 4. (anak ke empat) itu selalu kosong karena kerajaan Pagaruyung kehilangan jejak dimana keturunan anak ke empat itu berada dan berkembang). Bertahun-tahun prosesi di istana Lindung Bulan selalu menjadi pertanyaan siapa yang seharusnya duduk di kursi ke empat tersebut.
Sekian puluh tahun bahkan ratusan tahun kursi no. 4 itu dibiarkan kosong, namun karena anak ke empat dari raja Pagaruyung tersebut berada di Kerinci dan tidak pernah kembali ke Pagaruyung maka, oleh keturunan-keturunan belia di Pulau Sangkar cerita tersebut selalu diwariskan. Jadi setelah 84 tahun terjadi kevakuman di Lembaga Adat Rencong Telang maka panitia perayaan mencoba merajut kembali jejak sejarah tersebut ke istana Lindung Bulan di Pagaruyung. Sehingga bak gayung bersambut, mereka sangat berbahagia karena ‘si anak hilang’ sudah dapat diketahui keberadaannya.
Jadi itulah sebabnya, sewaktu acara Kenduri Seko di Pulau Sangkar, Raja Alam Pagaruyung membawa serta rombongan yang didampingi Rajo Adat dan Rajo Ibadat serta langgam nan tujuah, tanjuang nan ampek, lubuak nan tigo, sapiah balahan, kuduang karatan, datuak nan batujuah dan niniakmamak Pagarayung dan pembesar istano Pagaruyung serta wartawan.
Kalau ditelusuri, informasi tentang sejarah tersebut maka makna inilah yang dicoba untuk dirajut kembali bahwa kalau dulu Tuanku Magek Bagonjong diberi gelar oleh Rajo Alam Pagaruyung di istana Silindung Bulan kepada Rajo Keranting yang sudah berada di Kerinci, dan untuk sekarang diminta kembali untuk mengukuhkan Lembaga Adat Depati Rencong Telang oleh Raja Alam Pagaruyung.
Pertanyaan lanjutan: dari seluruh depati-depati baru yang dilantik sewaktu kenduri adat Pulau Sangkar tidak terdapat nama penyandang gelar “Depati Rencong Telang”. Bagaimana pula ceritanya?
Bahwa Rajo Keranting gelar Depati Rencong Telang mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki (Sutan Maharaja Gerah dan Sutan Maharajo Aro), seorang perempuan (Puti Laila Beruji). Waris gelar Depati Rencong Telang menurut adat kebiasaan di negeri Pamuncak Nan Tiga Kaum dapat diturunkan langsung dari Bapak ke Anak, tidak murni seperti di Minangkabau bahwa gelar warisan itu diturunkan dari mamak ke kemenakan.
Sewaktu Raja Keminting berangkat ke Kerinci untuk menemui kakeknya Indra Jati, beliau membawa suku kebesaran Koto Piliang, namun karena di Alam Kerinci orang tidak hidup bersuku-suku melainkan hidup berkaum-kaum maka, pewarisan suku tidak mungkin terjadi di Kerinci sehingga gelar itu tidak terwariskan sampai sekarang. Gelar Depati Rencong Telang boleh diwariskan ke salah seorang anak beliau (Sutan Maharajo Gerah atau Sutan Maharaja Aro).
Namun sewaktu tuanya Sigindo Sigarinting (Batinting) mengambil suatu kebijaksanaan tentang penurunan gelar tersebut, bahwa agar tidak terjadi silang sengketa dikemudian hari maka gelar Depati Rencong Telang itu melekat ke Lembaga Adat tidak ditubuhkan (disandang oleh siapa-siapa), namun apabila salah seorang dari Depati Nan Berenam dari Pulau Sangkar keluar dari wilayah kedepatian, maka gelar yang mereka bawa adalah gelar kebesaran Depati Rencong Telang. Apabila kembali ke Pulau Sangkar maka gelar tersebut memayungi semua Depati Nan Berenam (Depati Talago – turunan langsung dari Sutan Maharajo Gerah, Depati Sangkar – turunan Langsung dari Sutan Maharajo Aro, kemudian kembang rekannya adalah Depati Suko Berajo, Depati Balinggo, Depati Anggo dan Depati Gung).
Namun dalam pelantikan tersebut oleh Rajo Alam Minangkabau menyebutkan bahwa
“Kata Rajo Alam, selama ini historis tanah kerinci selalu dikotomikan. Ada yang menyebutkan Kerinci tidak termasuk Minangkabau dan sebaliknya, Minangkabau tak termasuk Kerinci. Ini semua tidakah demikian. “Dalam tambo alam kita disebutkan. Kerinci adalah tanah Minangkabau. antara Kerinci dengan Pagaruyunh, Kerinci dengan Minangkabau ibarat dua sisi mata uang. dia adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan,” ungkap Rajo Alam yang disambut tepuk tangan óleh Depati Rencong Télang”
Pernyatan ini tentu perlu diluruskan, bahwa Alam Kerinci tidak pernah dikuasai oleh kerajaan lain, Kerinci berdiri sendiri sejak dulu. Menang ada usaha kerajaan tetangga memasukkan Kerinci bagian dari kerajaannya sehingga dalam adat disebutkan bahwa Undang turun dari Minangkabau artinya bahwa kerajaan Minangkabau berusaha untuk menjadikan Kerinci bagian dari Kerajaan Pagaruyung. Kemudian masa berikutnya “Taliti” datang dari Jambi artinya bahwa Kerajaan Melayu Jambi melalui perwakilannya di Masumai – Bangko berusaha untuk memasukkan Kerinci bagian dari Kerajaan Melayu Jambi.
Akhirnya terjadilah kekacauan dan ketidak harmonisan dalam penerapan hukum alam masyarakat apakah menurut Undang dari Minangkabau atau menurut Taliti yang turun dari Jambi? Inilah salah satu alasan diadakannya Perjanjian Bukit Sitinjau Laut tahun 1022 H (1612 Masehit), yang salah satu keputusannya adalah: Undang balik ke Minangkabau, Taliti balik ke Jambi dan Alam Kerinci berlaku hukumnya sendiri yang disebut “Hukum Emas Seemas”. Jadi Kerinci semenjak zaman dahulu sudah berdaulat sendiri, tidak tunduk ke kerajaan manapun.
Sehingga Raja Alam Minangkabau sewaktu pelantikan adat Rencong Telang mengatakan bahwa antara Minangkabau dengan Kerinci ibarat dua sisi mata uang, dia adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Tentu tidaklah benar, karena Alam Kerinci ya Kerinci dan Alam Minangkabau ya Minangkabau dan tidak pernah bersatu secara utuh. Minangkabau dipimpin oleh Penghulu yang disebut dengan Datuk dan Kerinci dipimpin oleh Depati. Dari dua penggunaan gelar ini saja sudah dapat dilihat bahwa Minangkabau dan Kerinci adalah dua wilayah yang terpisah dan tidak pernah saling menundukkan namun pernah punya hubungan emosional diantara pemimpinnya. Sedangkan rakyatnya berkembang sesuai dengan wilayah masing-masing, dan tidak punya hubungan geneologis. ..* (bersambung).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Leave A Comment...