MALPU 314 - BENTUK ORNAMEN MASJID KERAMAT LEMPUR KERINCI - (3)
MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – Seri 314
Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muaro Langkap
Jambi, 3 Januari 2018
"WISATA RELIGI" DESA WISATA LEKUK 50 TUMBI LEMPUR
BENTUK ORNAMEN MASJID
KERAMAT LEMPUR KERINCI
Seperti telah diuraikan dalam MALPU Seri 312 dan 313, ternyata fenomena-fenomena yang terjadi di Masjid Keramat, mempengaruhi pikiran masyarakat Lempur memandang Masjid Keramat sebagai bangunan yang mempunyai “karomah”.
Pemahaman masyarakat tersebut hanya untuk memuaskan alam pikiran mereka, sehingga terbentuklah pemahaman yang demikian. Dalam dunia Islam, kata “karomah” ditunjukkan kepada manusia, seperti ulama tarekat, wali, dan syekh. Orang luar menamai Masjid Kuno Lempur sebagai Masjid Keramat karena masjid ini dalam riwayatnya selalu terhindar dari bencana yang terjadi di desa itu, antara lain kebakaran hebat pada tahun 1903 dan 1939. Juga gempa bumi dahsyat yang terjadi pada tahun 1942, tidak berpengaruh apa-apa terhadap masjid itu. Oleh karenanya, dapat dipahami jika masyarakat di desa itu menamai masjid tua ini dengan nama Masjid Keramat.
Secara umum bahan dasar dari masjid-masjid kuno tersebut adalah kayu, namun pada beberapa masjid sudah diganti dengan semen. Bentuk dari masjid yang terbuat dari kayu berupa bangunan panggung, khususnya untuk Masjid Kuno Lempur Tengah karena lokasinya sering dilanda banjir dan lingkungan sekitarnya dulunya dikenal dengan nama Kampung Terandam. Dulunya panggung tidak terlalu tinggi, lebih kurang satu meter yang lantainya semua terbuat dari papan/kayu tebal lebih kurang 10 cm tebalnya.
Namun seiring dengan perkembangan waktu, jarak antara tiang dengan tiang lainnya sudah menggunakan semen sehingga dari luar kelihatannya masjid tersebut berdiri kokoh menutupi panggung yang ada di dalamnya. Meskipun demikian pada masjid-masjid yang terbuat dari semen menunjukkan bahwa bentuk awal dari bangunan tersebut berupa bangunan panggung, hal ini dapat diketahui dari tiang-tiang pada ruang utama masjid yang pada bagian bawahnya terdapat lubang-lubang bekas balok penyangga lantai. Denah dari keseluruhan masjid-masjid kuno tersebut adalah segi empat.
E. BENTUK ORNAMEN PADA MIMBAR
Masih di dalam ruangan depan sebelah kanan mikhrab terdapat mimbar tempat khatib membaca khotbah. Mimbar tersebut juga berukir indah dengan 4 buah tiang yang terdiri daru 2 di depatn dan 2 di belakang. Dari depan terlihat mimbar itu memiliki semacam tangga 3 buah untuk sampai kepada bagian tempat duduk di atasnya, yang tingginya kira-kira 1,20 m dari lantai. Di sebelah kiri mimbar yang disebutkan di atas terdapat mihrab tempat imam memimpin sembahyang, yang dalam konstruksi masjid (seperti masjid-masjid lainnya) menjorok ke depan (barat). Sebelum mihrab tersebut, ada semacam gerbang yang indah pula dari kayu yang penuh dengan ukiran dengan cat warna-warni.
Ornamen yang diterapkan pada mimbar pada umumnya sama dengan ornamen yang ditempatkan pada yang lain namun komposisinya yang berbeda motif slampi duo (pilin dua) dikomposisi di dalam motif kluk pakou (relung pakis) dan motif tampok nio (tampuk kelapa) diletakkan ditengah tengah motif persilangan motif kluk pakou (keluk pakis). Motif kluk pakou(relung pakis) yang diisi dengan motif pilin dua saling tumpang tindih membentuk kesatuan yang harmonis yang diperkuat dengan kontruksi tiang teralis yang telah dibentuk pada setiap sudut mimbar. Semua motif tersebut dikomposisi di sekeliling mimbar dan diwarnai dengan merah, kuning, biru, putih, dan hijau.
F. BENTUK ORNAMEN PADA TEMPAT AZAN
Tempat azan Masjid Keramat terletak pada empat batang tiang tuo (tiang tua) atau tengah setinggi 6 m dari lantai ruang utama. Tempat azan tersebut dihiasi dengan motif tampok
nio (tampuk kelapa), slampit duo (jalin dua), matoharai (matahari), mentadu lago (ulat mentadu berkelahi) yang dicat dengan warna kuning, hijau, dan merah. Ruang azan tersebut berbentuk empat persegi panjang dan diatasnya terdapat tempat duduk santai sambil menunggu waaktu azan masuk.
Ornamen-ornamen tersebut dikomposisi secara simetris, terkesan ada keseimbangan dan menggunakan teknik ukir cekung dan cembung dengan dasaran datar, ornamen tampok
nio (tampuk kelapa) juga diterapkan pada tiap-tiap sudut empat persegi panjang dari menara azan, diujung kayu empat persegi panjang terdapat mitif buoh labu (buah labu). Ornamenornamen tersebut disusun secara berulang-ulang. pengulangan (repetisi) ornamen tersebut terkesan menoton, dinamis, bergerak, ada irama (ritme), dan formal.
G. BENTUK ORNAMEN PADA UJUNG KASAU
Ornamen yang terdapat pada ujung kasau tersebut bila kita perhatikan merupakan stilisasi ornament prasejarah yaitu motif pilin ganda (motif bentuk huruf S) yang dapat ditemukan pada bejana perunggu dari Kerinci yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Hiasan ini dapat juga ditemukan pada Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Keramat di Pulau Tengah dan pada kain batik Kerinci, yang oleh orang Kerinci motif disebut gadeang-gadeag (gading-gading)dan ada yang menyebut motif klok pakou (relung pakis). Ornamen itu berwarna merah, kuning, hijau dan biru, yang diukir dengan teknik ukir datar dan tembus. Tampak garis yang saling bersinggungan tetapi tidak saling menusuk terkesan bergerak dan ada irama. Motif tersebut tidak memiliki asal tumbuh dia menyalar dari batang yang sama, berkembang serta mekar di bagian ujungnya dan terkesan lebih hidup.
PENUTUP
Ornamen-ornaman yang ada di Masjid Kuno Lempur Tengah dan Lempur Mudik pada dasarnya merupakan suatu akulturasi atau suatu proses percampuran budaya yang terjadi karena adanya kontak antara masyarakat pendukung kebudayaan tertentu dengan masyarakat pendukung kebudayaan asing.
Dalam proses tersebut umumnya kebudayaan yang ada sebelum kebudayaan asing masuk tetap dipertahankan sehingga proses ini sama sekali tidak menghilangkan kebudayaan setempat, kemampuan ini dikenal dengan istilah endogenous knowledge (kearifan lokal) masyarakat setempat.
Berdasarkan pengamatan terhadap hiasan-hiasan pada Masjid Kuno Lempur Tengah dan Lempur Mudik menunjukkan adanya proses percampuran antara budaya lokal yang sudah melekat semenjak nenek moyang mereka, bercampur dengan budaya asing. Unsur-unsur budaya asing yang mempengaruhi hiasan pada masjid-masjid tersebut berasal dari Minangkabau dan Cina, Hindu dan lainnya..
Penggubahan bentuk-bentuk figuratif sehingga menjadi tersamarkan ini dipandang sebagai upaya jalan keluar untuk menghindari larangan menggambarkan makhluk hidup dan dianggap pula sebagai strategi adaptasi penyebar luasan agama Islam pada waktu itu. Kehadiran ragam hias dekoratif tidak dapat dipisahkan dari tradisi dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Sangat boleh jadi ragam hias itu dimaksudkan sebagai ungkapan maksud dan pesan-pesan simbolik.
Berbagai bentuk penggambaran yang diwujudkan sebagai ornament diciptakan dengan pengalihan benda asal berupa batang, daun, bunga, buah, makluk hidup, dan benda lainnya.
Pemilihan motif sangat bertitik tolak dari bentuk dan sifat alam. Para nenek moyang terinspirasi oleh alam yang dikembangkan menjadi bentuk motif menurut kreasinya. Dari bentuk ornamen yang diterapkan nampak jelas bahwa ornamen tersebut dibuat oleh banyak orang dengan tingkatkemampuan yang berbeda-beda karena seni sudah menjadi milik masyarakat. Bentuk dan gerak alam ditapsirkan dengan peri kehidupan mereka sendiri, distilisasi manjadi susunan garis-garis lengkung, bentuk geometris, dan bersifat dekoratif. ... *(habis).